Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang memiliki peran
dan posisi yang vital dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Merujuk pada pasal 3 UU Sisdiknas
di sana dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari hal tersebut
terlihat jelas bahwa
fungsi-fungsi itu diaktualisasikan di pesantren di mana
pesantren menjadi lembaga yang membentuk karakter seseorang menjadi pribadi
yang memiliki kepribadian baik, mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan
keimanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT.
Seperti yang kita ketahui bahwa
dalam pesantren tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu
umum dan ilmu kemasyarakatan dan yang terpenting adalah adanya character
building yang benar-benar ditekankan oleh pesantren. Seorang santri dicetak
menjadi manusia yang berkepribadian tinggi yaitu manusia yang mampu mengabdikan
ilmunya dalam masyarakat, apalagi adanya konsep “ngalap berkah” dalam pesantren
yang menjadi suatu ciri khas tersendiri yang membedakan pesantren dengan
lembaga pendidikan lainnya.
Menyadari peran yang istimewa
tersebut, sebuah pesantren dituntut mampu mengelola manajemen pesantrennya baik
manajeman pendidikan, manajemen keuangan maupun manajemen sumber daya. Kita
menyadari bahwa di banyak pesantren, masalah keuangan selalu menjadi kendala
dalam menjalankan aktivitas pesantren. Untuk itu pesantren harus mampu menata
keuangannya agar tidak menghambat kegiatan di pesantren.
Ada berbagai macam model
keuangan (pembayaran syahriah) di pesantren. Diantaranya, ada pesantren yang
menggratiskan atau tidak memungut biaya pada para santrinya untuk membayar
syahriah pesantren. Biasanya pesantren ini memiliki visi sosial, Pondok Pesantren
Nurul Huda, Langgongsari, Cilongok yang diasuh oleh Gus Abror, misalnya.
Berangkat dari keprihatinan terhadap nasib anak yatim, pondok pesantren ini
mengasuh anak-anak yatim tanpa pungutan biaya. Santri di pondok pesantren
ini belajar di pesantren, dan hebatnya
mereka juga sekolah formal di SMP Al Aqwiya, SMP yang juga dibentuk oleh
pesantren ini yaitu sekolah alam yang
metodenya sama dengan sekolah formal tetapi tanpa memakai seragam.
Sekolah alam ini dibuka pada 2011-2012 dengan jumlah siswa mencapai 71 orang. Selain
itu Pondok Pesantren Anwarus Sholihin, Pamujan-Teluk juga membebaskan biaya
pada para santrinya terutama anak yatim dan mereka disekolahkan di SMP Ma’arif
NU 3 Purwokerto.
Ada juga pondok pesantren yang
menarik biaya mahal pada santrinya, ini terutama terjadi di pesantren-pesantren
modern seperti pondok pesantren Gontor, tentunya biaya mahal ini juga sepadan
dengan fasilitas yang ditawarkan oleh pesantren tersebut.
Sedangkan di pondok pesantren
kita, Ponpes Darussalam sendiri, biaya pembayaran syahriah sejumlah Rp 75.000,
ditambah biaya untuk konsumsi Rp 225.000,00. Jadi setiap bulan santri wajib
membayar Rp 300.000. Biaya ini terbilang murah sebab dengan fasilitas yang
mewah, gedung lantai dua, halaman yang luas, kelas yang kondusif dan berbagai
fasilitas lainnya. Dari segi konsumsi juga terbilang murah jika dibandingkan
dengan kalkulasi jika santri mencari makan sendiri, uang sejumlah Rp 300.000
itu dipergunakan untuk makan 3 kali sehari selama satu bulan.
Metode apapun yang diterapkan
pesantren dalam mengelola keuangannya, disini jelas bahwa pesantren di masa
kini dituntut untuk berbenah, menata diri dalam menghadapi
persaingan ilmu pengetahuan maupun pengelolaan pendidikan sehingga Pesantren
menjadi lembaga pendidikan yang maju dan dapat bersaing dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang
handal.
Dewi Oktavianingrum